Perempuan, apapun pekerjaannya, rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Ibu rumah tangga pun memiliki risiko untuk mengalaminya. Bagaimana cara mengelola stres agar terhindar dari gangguan kesehatan mental?
Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah, terlebih sudah menjadi ibu dan istri. Berbagai pilihan silih berganti datang menghampiri. Mulai dari hal-hal kecil hingga pilihan berat seperti harus memutuskan menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir.
Meninggalkan
pekerjaan yang sedari dulu diimpikan tidaklah mudah, terjadi gejolak hati yang
begitu besar. Namun, perempuan tidak menginginkan orang-orang yang disayanginya
menjadi korban akibat egonya. Perempuan rela melakukan apa pun agar orang-orang
yang disayangi tetap bahagia.
Perempuan
mengesampingkan gunjingan orang-orang di luar sana, meskipun hatinya kerap
sekali pilu akibat gunjingan tersebut. Mungkin, sebagian perempuan bisa
menjalani kedua-duanya. Akan tetapi, sebagian besar perempuan harus nenilih salah satu.
Pilihannya
menjadi seorang ibu rumah tangga membawanya menjadi perempuan yang bisa
melakukan segalanya. Menjadi chef
untuk anak dan suami, menjadi dokter ketika mereka sakit, menjadi guru bagi
anaknya hingga urusan domestik lainnya.
Pekerjaannya
pun tak bisa terhitung oleh waktu. Hampir tidak ada waktu luang hanya untuk
duduk santai sembari menikmati minuman atau makanan kesukaan. Dunianya sudah
menjadi milik anak dan suami.
Terkadang
untuk mengefisiensikan waktu, perempuan harus multitasking. Mengerjakan beberapa pekerjaan secara bersamaan agar semua bisa selesai
tepat waktu. Disusul dengan melakukan pekerjaan lain yang sudah menunggu.
Setiap hari perempuan dihadapkan dengan situasi yang seperti itu. Membuat mereka rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Bahkan, tak jarang kejadian yang diluar dugaan seperti kasus ibu menganiaya hingga membunuh anaknya berseliweran di media massa. Pemicu dari kasus tersebut, tidak lain adalah gangguan kesehatan mental yang dialami perempuan.
Mereka,
dibiarkan sendiri menghadapi situasi yang seperti itu. Tidak ada tempat untuk
berbagi segala keluhannya atau suami yang diharapkan menjadi pundak untuknya
bersandar malah selalu melukai perasaannya.
Ditambah,
tingkah laku anak yang kadang menguras emosi hingga membuat amarahnya meledak. Padahal,
semua urusan domestik dalam rumah tangga bukan hanya peran perempuan saja
melainkan juga laki-laki.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah menyebut, dalam berumah tangga harus menerapkan mubadalah. Artinya, relasi antara dua pihak berbasis kesetaraan, kesalingan, dan kerja sama. Relasi yang satu sama lain tidak merendahkan atau mendiskreditkan, melainkan saling menghormati, memanusiakan, bersikap ramah, dan berakhlak mulai.
Laki-laki
tidak melulu berpatok hanya berkewajiban untuk mencari nafkah saja. Melainkan,
membantu urusan domestik dalam rumah tangga. Dengan tujuan meringankan beban
peran perempuan dalam mengurus rumah tangga.
Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta pendudukberusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Selain itu
berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun
2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari
ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada
usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Untuk saat
ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5
penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai
potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
Kementerian
Kesehatan juga mengelompokkan beberapa jenis gangguan kesehatan mental, yakni stres,gangguan kecemasan dan depresi. Stres adalah keadaan ketika seseorang mengalami
tekanan yang sangat berat, baik secara emosi maupun mental.
Seseorang
yang stres biasanya akan tampak gelisah, cemas, dan mudah tersinggung. Stres
juga dapat mengganggu konsentrasi, mengurangi motivasi, dan pada kasus
tertentu, memicu depresi. Stres bukan saja dapat memengaruhi psikologi
penderitanya, tetapi juga dapat berdampak kepada cara bersikap dan kesehatan
fisik mereka.
Sementara,
gangguan kecemasan adalah kondisi psikologis ketika seseorang mengalami rasa
cemas berlebihan secara konstan dan sulit dikendalikan, sehingga berdampak
buruk terhadap kehidupan sehari-harinya.
Bagi
sebagian orang normal, rasa cemas biasanya timbul pada suatu kejadian tertentu
saja, misalnya saat akan menghadapi ujian di sekolah atau wawancara kerja.
Namun pada penderita gangguan kecemasan, rasa cemas ini kerap timbul pada tiap
situasi. Itu sebabnya orang yang mengalami kondisi ini akan sulit merasa rileks
dari waktu ke waktu.
Selain
gelisah atau rasa takut yang berlebihan, gejala psikologis lain yang bisa
muncul pada penderita gangguan kecemasan adalah berkurangnya rasa percaya diri,
menjadi mudah marah, stres, sulit berkonsentrasi, dan menjadi penyendiri.
Sedangkan,
Depresi adalah gangguan suasana hati yang menyebabkan penderitanya
terus-menerus merasa sedih. Berbeda dengan kesedihan biasa yang umumnya
berlangsung selama beberapa hari, perasaan sedih pada depresi bisa berlangsung
hingga berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Selain
memengaruhi perasaan atau emosi, depresi juga dapat menyebabkan masalah fisik,
mengubah cara berpikir, serta mengubah cara berperilaku penderitanya. Tidak
jarang penderita depresi sulit menjalani aktivitas sehari-hari secara normal.
Bahkan pada kasus tertentu, mereka bisa menyakiti diri sendiri dan mencoba
bunuh diri.
Dikutip
dari Alodokter, terdapat tiga alasan perempuan mudah mengalami depresi,
diantaranya:
1. Alasan
biologis
Pada perempuan,
perubahan kadar hormon, seperti estrogen dan progesteron, bisa memengaruhi
bagian sistem saraf yang berhubungan dengan suasana hati. Hal ini kemudian
berkaitan juga dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental, termasuk
depresi.
Umumnya,
perubahan kadar hormon wanita ini terjadi saat menstruasi, hamil, keguguran,
melahirkan, dan menopause.
2. Alasan
psikologis
Perempuan
mengalami ragam fase kehidupan yang dapat memengaruhi kondisi psikisnya, mulai
dari pendidikan, karir, menikah, memiliki anak, hingga proses membesarkan anak.
Selain itu,
perempuan juga memiliki cara yang cukup unik saat menghadapi masalah. Misalnya,
dengan lebih banyak mempertimbangkan dan memikirkan berbagai hal dan
kemungkinan, serta lebih melibatkan perasaan saat berada pada suatu hubungan
baik dengan teman, kerabat, bahkan pasangan.
Nah,
hal-hal itulah yang turut memengaruhi kesehatan mental seorang perempuan dan
membuatnya lebih mungkin mengalami depresi.
3. Alasan
sosial-budaya
Budaya yang
ada di masyarakat sering menilai perempuan harus memiliki sikap lembut, bisa
mengasuh dan mendidik, serta harus peka pada orang lain. Penilaian dan budaya
ini rentan menjadikan perempuan mendefinisikan dirinya melalui pendapat orang
lain. Hal ini tentu akan memengaruhi kesehatan mentalnya. Jadi, tidak heran
bila perempuan lebih mudah mengalami stres.
Tuntutan perempuan
yang harus bisa berperan ganda juga turut memberi pengaruh. Misalnya, perempuan
sebaiknya ikut bekerja, entah itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau
karena rasa takut direndahkan bila hanya menjadi istri dan ibu rumah tangga.
Namun di
sisi lain, perempuan tetap dituntut bertanggung jawab atas segala urusan rumah
tangga. Peran ganda tanpa adanya dukungan dari pasangan dan keluarga bisa
memicu rasa lelah, jenuh, stres, bahkan depresi pada perempuan.
Tiga Cara Mengelola Stres Bagi Perempuan
Psikolog Rini S Minarso membagikan beberapa tips agar perempuan dapat mengelola stresnya dengan baik, diantaranya:
- Mengatur aktivitas dan pekerjaan fisik sedemikian rupa sehingga tidak menjadi beban pekerjaan yang harus di tanggung sendiri. Misalnya, meminta bantuan pasangan untuk membantu mengatur waktu kapan pekerjaan mengasuk anak dilakukan oleh ibu dan kapan ayah dapat melakukannya. Berbagi pekerjaan dan aktivitas fisik, akan membuat beban kerja yg membuat kelelahan fisik menjadi berkurang.
- Menyempatkan untuk merefreshing diri dengan me time karena apa pun aktivitasnya semua orang butuh waktu untuk bersantai dan beristirahat. Atau jika tidak memungkinkan refreshing sambil beraktivitas rumah tangga. Misalnya, hobby berkebun, berkebunlah sambil melibatkan atau menyertakan anggota keluarga, sehingga bisa menikmati kegembiraan bersama.
- Kurangi berpikir terlalu berat sendirian, libatkan pasangan untuk aktivitas mental yang lebih sehat atau libatkan keluarga dalam berpikir dan memutuskan sesuatu. Misalnya, bertanya pada ibu ketika memikirkan menu masakan. Hal sederhana seperti itu tidak saja meringankan kerja mental, tetapi dapat menguatkan ikatan emosi dengan mereka, secara tidak langsung akan membuat diri tidak merasa sendirian dan menjadi lebih bahagia.
0 Komentar